Ayat-ayat Setan Salah Satu Kasus Penistaan Agama Islam Paling Terkenal Dalam Sejarah Modern

 


 

Beberapa hari ini publik Indonesia pada rame membahas tentang penistaan agama terutama penistaan agama Islam. Nah kasus ini mengingatkan ane akan kasus penistaan agama Islam yg paling terkenal dalam sejarah yaitu kasus Ayat-Ayat Setan.

 


Dulu tahun 1988 muncul buku berjudul Ayat-Ayat Setan (Satanic Verses) yg menggemparkan dunia Islam. Buku ini sendiri adalah buku tulisan Salman Rushdie seorang penulis keturunan India yg tinggal di Inggris.

 

Buku Ayat-Ayat Setan ini dianggap menghina Islam sehingga membuat Salman Rushdie di kecam habis2an oleh dunia Islam, bahkan pemimpin besar Iran, Ayatullah Khomenei sampai mengeluarkan fatwa mati kepada Salman Rushdie. Nantinya gara2 fatwa ini kelompok2 fundamentalis Islam berusaha memburu Salman Rushdie dan orang2 yg terkait dengan penerbitan buku ini untuk dibunuh.

 

Yg mengakibatkan banyak korban jiwa seperti : Hitoshi Igarashi, seorang penerjemah buku ini di jepang ditusuk sampai mati, lalu Ettore Capriolo, seorang penerjemah buku ini di Italia juga di serang dan terluka parah, lalu William Nygaard, seorang penerjemah buku ini di Norwegia ditembak, lalu Aziz Nesin, seorang penerjemah buku ini di Turki juga berusaha dibunuh dengan cara hotel tempat tinggalnya (Hotel Madimak) di bakar yg juga menyebabkan 37 orang lainnya meninggal. Serta berbagai rentetan demonstrasi yg mengakibatkan banyak korban jiwa di berbagai negara2 Islam seperti di Pakistan, Irak, Mesir, dll

 

Tapi walaupun banyak terjadi usaha pembunuhan dan kekerasan terkait buku Ayat-Ayat Setan ini, Salman Rushdie sendiri selamat dan harus menghabiskan waktu sepanjang hari dalam penjagaan polisi Inggris.

 

Nah mungkin ada yg bertanya2 apa yg membuat buku Ayat-Ayat Setan dari Salman Rushdie ini menjadi buku yg dianggap sebagai penghinaan besar bagi dunia Islam. Sebenarnya ada beberapa sebab kenapa buku ini menjadi kontraversial antara lain adalah :

 


1. Judulnya sendiri yg bernama Ayat-Ayat Setan (Satanic Verses) ini sendiri merujuk kepada cerita “Qissat al-Gharaniq” (Kisah Burung Bangau) dalam literatur Islam. Dimana ini adalah nama sebuah kejadian saat Nabi Muhammad telah keliru mengira ayat-ayat yang “dibisikkan setan” sebagai wahyu.

 

Riwayat mengenai peristiwa ini sebenarnya dapat ditemukan dalam beberapa literatur Islam, seperti : Sirah nabawiyah yang ditulis oleh Ibnu Ishaq, juga di tafsir ath-Thabari yang merupakan kitab tafsir yang dianggap paling shahih, serta Tafsir al-Jalalain yg secara tidak langsung merujuk kepada Shahih Bukhari.

 

Qissat al-Gharaniq sendiri oleh banyak ulama Islam adalah kejadian tidak valid walaupun ada dalam berbagai literatur Islam, dan biasanya dilarang dibahas dalam pelajaran Islam. Menggunakan ini saja sebagai judul buku sudah dianggap kontraversial dalam dunia Islam.

 


2. Lalu Rushdie menggunakan kata ‘Mahound’ untuk merujuk kepada sosok utama dalam buku ini, dimana Mahound sendiri sebenarnya bentuk kata ejekan lama kepada Nabi Muhammad dari kelompok tentara Crusader, saat peristiwa perang salib dulu.
Mahound sendiri dalam kosakata bahasa inggris classic bisa juga diartikan false god (atau tuhan palsu)

 


3. Selain itu banyak penghinaan lainnya seperti yg ane sadur langsung dari tulisan R. Satrio, M.Pd. (Alumnus Program Kader-Ulama DDII) dibawah ini yg pernah membedah buku Satanic Verse ini panjang lebar :

 

Bab kedua novel ini, di beri judul Mahound, menggambarkan episode awal perikehidupan sosok Muhammad saw sebagai utusan Allah SWT. Tanpa tedeng aling-aling Rushdie menyebut Mahound sebagai “si pedagang” (the businessman) yang gila (a looney tune, a gone baboon) di saat pertama melihat Malaikat Jibril.

 

Ia juga menyebut Allah dengan “allgood” dan “allahgod”. Dan di bagian lain, Allah juga disebut sebagai “jauh dari abstrak … sedang duduk di tempat tidur, lelaki seusia dirinya, rambutnya mulai botak, berkaca-mata dan tampaknya kepalanya mulai berketombe.” (The angel Gibreel’s vision of the Supreme Being is described as “not abstract in the least. He saw, sitting on the bed, a man of about the same age as himself, balding, wearing glasses and seeming to suffer from dandruff”)

 

Di saat sakaratul maut, di Bab VI, Return to Jahilia, digambarkan bahwa karakter Mahound ini bukannya dihampiri oleh malaikat Izrail (di Novel disebut Azraeel), melainkan oleh berhala Lata (Al-Lat) yang berwujud perempuan. Kepada sosok Al-Lat ini Mahound berterima kasih karena telah ‘membunuhnya’. Dan tokoh Ayesha yang mengumumkan kematian Mahound, yang pada kenyataannya adalah shahabat Abu Bakr yang menegaskan wafatnya Rasul sambil menyitir ayat bahwa Rasul adalah manusia biasa yang merasakan mati dan hanya Allah yang layak disembah yang tidak pernah mati.

 

Sejumlah hal lain yang jelas menyinggung perasaan dan keyakinan umat Islam adalah di Bab II, Rushdie menyebut Ibrahim a.s. sebagai “the bastard” (si bajingan) karena dengan “seenaknya” mengklaim bahwa Tuhanlah yang menyuruhnya meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir. Rushdie ingin menegaskan bahwa manusia dengan mudah bersembunyi di balik nama Tuhan atas hal-hal “absurd” yang dilakukan.

 

Selain itu di Bab VI Rushdie juga menyebutkan bahwa ada duabelas pelacur dalam sebuah rumah pelacuran bernama The Curtain (Hijab) yang menyaru dengan menggunakan nama istri-istri Nabi. Meskipun ia menggunakan tanda kutip tiap kali menyebutkan nama-nama tersebut, tetap saja tidak mengubah fakta bahwa ia menghina para istri Nabi.

 

Rushdie juga menggunakan nama Jibril (Gibreel) untuk sosok bintang film dan Shalahuddin (Saladin) untuk tokoh “setan”. Dua tokoh ini memang menjadi “guide” dalam novel ini karena kisah merekalah yang digunakan Rushdie memintal alur ceritanya, dari satu mimpi ke mimpi yang lain, lengkap dengan segala perikehidupan maksiatnya.

 

Nama Ayesha (Aisah, istri Rasul) digunakan Rushdie di dalam novel ini untuk merujuk kepada sejumlah tokoh di tiap plotnya, dalam bab-bab yang berbeda. Ada yang berperan sebagai pelacur dalam plot Mahound (Bab VI, Return to Jahilia), ada yang sebagai sosok perempuan remaja India fanatik yang mengajak pengIkutnya untuk menyebrangi laut guna mencari pengampunan dosa dalam plot Titlipur (Bab IV, Ayesha dan VIII The Parting of the Arabian Sea), dan sebagai penguasa Desh yang kejam dalam plot Imam (Bab IV). Kota Jahilia mengacu kepada kota Mekkah.
Berhala Baal berperan sebagai seorang penyair yang kemudian menjadi ‘mucikari’ The Curtain membawahi para pelacur yang menggunakan nama para istri Nabi.

 


4. Bahkan Daniel Pipes, kolumnis garis keras di AS, juga sependapat bahwa banyak elemen dalam novel ini yang emang menyinggung umat Islam. Misalnya saja menurut Pipes, soal syariah Islam yang di tangan Rushdie menjadi bual-bualan aneh karena mengatur segala hal termasuk (maaf) buang angin. Atau membuat seolah Rasul (melalui sosok Mahound) percaya berhala Al-Lat itu ada. Novel ini tidak hanya menghina keyakinan ummat Islam, tapi merupakan karya sastra yang bahkan oleh sebagian kalangan kritikus Muslim dianggap “bad fiction.”

 

Selain itu penulis terkenal Karen Armstrong, dalam pengantar bukunya yang berjudul Muhammad: A Biography of the Prophet edisi tahun 2001 menulis, bahwa gambaran buruk tentang Nabi Muhammad yang diberikan oleh Salman Rushdie melalui novelnya, The Satanic Verses inilah yang justru diserap oleh banyak masyarakat Barat sehingga sering muncul ketidaksukaan banyak orang barat dengan Islam terutama kaum agamais fanatiknya.

 


Jadi memang tulisan Salman Rushdie ini sangat-sangat kontraversial (bahkan bagi kritikus Islam sendiri materinya terlalu gila), tapi di sisi lain memang ada kritik yg dimasukan Rushdie dalam bukunya ini yg paling kentara adalah tentang banyak orang berlindung dibalik nama Tuhan untuk perbuatan buruknya.
Cuman permasalahannya sendiri antara kritik, penistaan, penghinaan, maupun kebebasan berpendapat sendiri batasannya sangat tipis dan sangat bias. Sehingga terkadang kasus2 semacam ini menjadi kasus fatal penistaan agama yg bisa menyebabkan kekerasan dan kematian banyak orang.